Konon, demikian para pemilik cerita di Fatuleu, Sonbai generasi kedelapan begitu ditakuti kolonial.
Namanya Baob Sonbai, begitu kisah para penutur di Fatuleu Barat. Leluhurnya, Nai Laban, adalah generasi pertama Sonbai yang mulai menancapkan pengaruhnya di wilayah sekitar Paenenom Oenam dan daerah sekitar gunung Mutis sekitar abad 14.
Salah satu pimpinan kolonial Belanda yang berkuasa di Timor saat itu sampai menelurkan kebijakan enam pal, pemberian daerah bayangan di sepanjang garis pantai Sumlili di Kupang Barat hingga Oepoli dan Ambenu bagi saudara – saudara dari Rote dan Sabu untuk membendung dan melokalisir pengaruh Sonbai. Akses Sonbai dengan para pedagang dari Cina, Jawa, dan daerah lain Indonesia dihambat. Daerah pinggiran pantai, tempat strategis untuk aktifitas perdagangan dikuasai kolonial. Cendana dan Gaharu, komoditi hutan yang paling mahal harganya dimonopoli sepihak oleh kolonial. Bahkan, dirampas secara paksa.
Tak gentar, Baob Sonbai mengajak para pengawalnya, keluarganya, untuk menemui pimpinan kolonial Belanda di Kupang. Bukan untuk perang, melakukan protes adalah rencana awal raja yang berkharisma itu. Versi lain untuk kisah yang sama, Baob Sonbai bersama rombongannya pergi ke Kupang karena diminta menghadap oleh pengusa Portugis yang saat itu lebih dulu bermarkas di Kupang. Portugis marah karena Sonbai melawan prajurit dan kaki tangannya yang memonopoli perdagangan dan perampasan Cendana dan Gaharu. Karena lamanya perjalanan bersama rombongan keluarga dan pengawal, Sonbai tiba di Kupang ketika kekuasaan telah beralih kepada pihak Belanda. Portugis telah bergeser ke arah Timur pulau Timor.
Dengan gagah berani, begitu tutur pemilik cerita dengan mata berkaca mengenang kebesaran sang raja yang terus hidup dalam mitologi mereka, Baob Sonbai mendahului rombongannya menemui pimpinan kolonial Belanda yang telah menunggu bersama pasukannya yang bersenjata lengkap. Moncong bedil dan meriam seluruhnya diarahkan pada sang raja dan pasukannya yang hanya membawa kelewang dan beberapa bedil. Menyadari keterbatasan pasukannya, Baob Sonbai melangkah pelan, tapi pasti dan anggun, menemui lawannya. Pimpinan pasukan Belanda yang begitu takjub dengan ketenangan dan kebesaran sang raja diajak untuk berdiplomasi.
Tak sepakat bekerja sama, Sonbai menolak takluk pada keinginan kolonial. Dihadapan bedil dan moncong meriam, Sonbai tetap kukuh menginginkan kesetaraan dan keadilan dalam hubungan perdagangan seperti yang sudah terbangun antara para leluhurnya dengan para pedagang dari Cina, India, Afrika, dan daerah lainnya selama ratusan tahun sebelumnya.
Melihat jalan diplomasi yang ditawarkannya telah buntu, Sonbai mengeluarkan jurus terakhir. Meminta restu pada alam dan leluhur, Sonbai menantang para tentara kolonial untuk adu kesaktian. Bagi Sonbai, jika yang diperjuangkannya selaras dengan kepentingan rakyatnya, dan alamnya, leluhur dan alam akan mendukungnya dalam pertandingan adu kesaktian tersebut. Kemenangan salah satu pihak dalam adu kesaktian tersebut menunjukkan keberpihakan alam kepadanya. Jika Sonbai yang menang, pihak kolonial harus mengikuti keinginannya. Sonbai mengajukan tawaran demikian.
Konon, Sonbai yang memenangi adu kesaktian saat itu. Ada empat jenis ujian yang dijalani. Pihak Belanda bahkan tak mampu melakukan satupun ujian yang sangat mustahil bagi akal manusia saat itu. Kisah mengenai bagian ini akan penulis lanjutkan pada tulisan mendatang.
Meski kalah telak, pihak kolonial ngotot untuk menangkap Baob Sonbai saat itu. Sang raja yang sakti itu sebenarnya dengan mudah dapat meloloskan diri. Kecintaannya pada istri, anak–anak dan keluarga yang mengiringinya saat itu membuatnya tak banyak melawan. Istri dan anak–anaknya lemah.
Saat berada di atas kapal milik kolonial untuk diasingkan ke pulau Jawa, sang raja masih saja membuat repot pihak musuhnya. Kapal yang ditumpanginya tidak dapat bergerak maju sedikitpun. Lagi–lagi, setelah mempertimbangkan keselamatan keluarganya, sang raja akhirnya menyerah. Dengan tenang, yang membuat dirinya terlihat gagah dan berkharisma, Dia membiarkan dirinya dibawa pergi. Menurut beberapa sumber, sang raja akhirnya wafat dan dimakamkan di Batavia, meski letak makamnya tidak pasti.
Selanjutnya, atas inisiatif amaf Taiboko dan Ebnoni, salah satu kerabat sang raja dinikahkan dengan Bi Ao Pit’ai dan diangkat menjadi raja kerajaan Paenenom Oenam berikutnya. Upacara pernikahan dan pengambilan sumpah takluk para amaf kepadanya dilakukan di dekat sungai Tal Manu, batas antara Amfoang dan Fatuleu Barat saat ini, yang karena kaseleo lidah kita menyebutnya sebagai jembatan Termanu. (Tulisan soal jembatan Termanu akan diposting kali berikut).
Raja–raja Sonbai berikutnya kemudian memusatkan daerah kekuasaannya di sekitar Kauniki, Takari, hingga kekuasaan dinasti Sonbai berakhir saat raja Sobe Sonbai III dan panglima Toto Smaut ditangkap Belanda dan kerajaan Paenenom Oenam dipecah oleh kolonial menjadi tiga kerajaan yakni Fatuleu, Mollo, dan Miomafo.
*Simon Seffi, penulis, adalah guru di SMAn 2 Fatuleu Barat. Saat ini mengelola media suaraamfoang.com serta nttpos.com. Juga menjadi tim IT untuk media suarantt.com, halaman8.com, dan infospk.com.
Komentar